BAHWA hidup itu akan menarik jika
ada dinamikanya, barangkali aku menyetujuinya. Perjalanan dalam hidup ini jelaslah
penuh liku nan berkelok. Pun jalan yang demikian itu tidaklah selamanya mulus.
Terseok-seok, tergelincir, hingga merdeka dan bahagia merupakan beberapa imbas
dari sekian banyak konsekuensi dalam perjalanan yang dinamis itu. Hanya
pengalaman yang dapat dijadikan bekal pelajaran dalam menitinya. Bergerak
merupakan kemestian yang mau tidak mau menjadi keniscayaan, tolok ukur dari
perubahan. Bumi yang hanya tampak diam oleh beberapa mata manusia sebanarnya
malah aktif bergerak dengan rotasinya mengitari pusat matahari.
Dalam hal yang demikian itu aku sepakat
denganmu. Namun dalam berketetapan hati kita pernah berbeda pemahaman. Logikaku
ketat mengikat dalam memantapkan pilihan hati, kau masih fleksibel memaknai hal
tersebut. Seperti dulu kau pernah berceracau di selasar taman –yang dulu pernah
kita namai sebagai taman langit– ketika senja beringsut ke peraduannya.
“Hidup kita tak selamanya akan
begini. Ada dinamikanya, naik turun, fluktuatif seperti harga sembako. Hari ini
mungkin kita bersedih karena cela dari mereka yang urung mengerti. Esok siapa
yang tahu?”
Aku hanya nganguk-ngangguk
mencoba memahami. Kubiarkan kau terus melanjutkan.
“Saat ini mungkin kita bahagia karena
masih bisa bersama, esok mana tahu? Pun hati ini masih selalu menyoal tentangmu
setiap saat. Esok? Entah?”
Kau mengakhiri dengan nada cemas.
Lalu menatapku miris bercampur waswas, lantas aku meringis. Saat itu, hanya ‘keadaan’
yang dijadikan sebagai musabab atas masalah yang kadang tak merestui.
Itu dulu. Sekarang, perlahan
namun pasti, kau sudah yakin memastikan bahwa aku adalah satu-satunya orang
yang pantas untuk kau curahkan setumpuk perhatian, pantas untuk kau jadikan
tumpuan di saat rapuhmu. Sampai pada titik yang paling pantas, malah kau
menyebutku sebagai separuhmu. Luar
biasa, bukan? Semringah kau mengucap itu, aku berjingkrak bukan main dalam
hati.
Sementara di belahan Eropa sana, di
Polandia dan Ukraina, berlangsung beberapa laga pamungkas kesukaan banyak orang.
Bukan hanya para pria, pun banyak kaum hawa telah dihipnotisnya. Sampai-sampai
banyak yang dibuatnya panas dingin. Ya, demam Piala Eropa. Kau juga ikutan
demam dibuatnya. Bermunculan banyak binatang peramal. Mulai dari yang berkaki
banyak, berkaki empat, tak berkaki, atau yang cuma berekor saja. Tahu apa
mereka tentang sepak bola? Terkadang manusia selalu menjadikan ketidakmungkinan
menjadi sesuatu yang mungkin untuk dilogikakan. Ada-ada saja. Dan sepertinya akan
selalu ada.
Saat ini sudah memasuki laga
semifinal. Kau mendukung Jerman karena pemain favorit Real Madrid-mu bermain di sana, Mesut Ozil. Sementara aku,
mati-matian tetap akan mendukung tim kesayanganku, Spanyol. Mayoritas pemain Barcelona bermain di sana. Kita mempunyai
alasan yang serupa. Terkadang El Classico
memang menyisakan beragam ketidaksepahaman bagi para pendukungnya. Namun aku berharap
kedua negara itu dapat bertemu di laga final nanti. Apa salahnya kalau kita
berbeda minat. Sesekali perbedaan kita jadikan sebagai perekat, supaya ada dinamika.
***
Di sebuah rumah sederhana yang
tak begitu luas, aku tinggal dengan beberapa kawan. Sebut saja mereka sebagai Bandoci dan kawan-kawan. Tak elok
menyebutkan nama mereka satu persatu. Sebab kalau jadi populer, bisa-bisa
mereka malah minta upah karena namanya telah kujadikan tokoh ke dalam cerita
ini. Gengsi mereka terlalu tinggi. Jadinya, hanya kalau rumah sedang sepi
barulah aku semangat latihan menggesek biola. Sangat tidak nyaman bila mereka
sedang di rumah, terutama Si Bandoci itu. Yang dilakukannya hanya mengejek dan
mencibir. Bayangkan saja, hasil bunyi gesekan biola perdanaku dikiranya lebih
mirip (maaf) suara kentut yang sengaja dikeluarkan sedikit demi sedikit. Ada-ada
saja.
Tanah airku
Indonesia
negeri elok yang amat kucinta
tanah tumpah darahku yang mulia
yang
kupuja sepanjang masa...
Entah dapat wangsit dari mana,
instrumen Lagu Nasional 'Rayuan Pulau Kelapa' itu nyelonong masuk seenaknya
mondar-mandir ke dalam kepalaku ketika memulai mempelajari nada-nada pada
biola. Padahal aku termasuk pemerhati lagu-lagu pop terbaru negeri ini. Apalagi
yang bergenre galau –salah satu jenis
lagu terfavorit umat manusia Indonesia saat ini. Agustusan juga masih terbilang
jauh. Mungkin di zaman penjajahan dulu, biola selalu identik dengan instrumen
lagu-lagu nasionalisme seperti yang dilakukan WR. Supratman. Ataukah karena
kunci nada lagu karya Ismail Marzuki tersebut hanya berkutat pada nada mayor
seperti G, C, dan D saja. Sementara nada dasar biola adalah G, D, A, dan E.
Berbeda dengan jenis lagu-lagu galau itu, pada umumnya bermain pada nada-nada
minor seperti Am, Dm, dan Em. Otomatis nadanya selalu miris, membuat hati
meringis dan tentu menyayat-nyayat hati.
Pengetahuanku tentang gitar
sebanarnya sudah ada dan mumpuni dalam memainkan beberapa lagu. Sebut saja lagu
rock lawas Sweet Child of Mine milik
Guns n Roses. Atau beberapa lagu hits
Rolling Stone, Metalica, dan Nirvana. Kau percaya? Syukurlah kalau kau tidak memercayainya. Aku cuma mampu menyebutkannya saja. Bahwa aku sedikit
memiliki pengetahuan dan bisa memetik gitar itu memang benar. Tetapi jangan
harap mampu bernyanyi seperti Iwan Fals dan Sandhy Sondoro yang teramat lihai
bernyanyi sambil memetik gitar. Tapi kalau hujan sedang lebat-lebatnya, mungkin
aku bisa kalian adu. Diadu berteriak tak karuan atau memutuskan tali-tali
gitar.
Berbeda dengan gitar, biola tidak
mempunyai fret penanda jari. Jadi
mesti memiliki rasa musik yang tinggi dan membutuhkan daya kesabaran luar biasa.
Salah-salah menekan titik nada, sumbanglah suara gesekannya. Makanya mentormu
dulu sengaja memberikan tanda fret berupa
isolatif merah pada papan dawainya supaya lebih mudah diingat. Tanda-tanda itu
disesuaikan dengan skala nada mayornya.
***
Sumber : di sini
“Biola itu tidak harmonis, kurang
padu, beda, dan cenderung sendiri. Namun tatkala baur, simfoni jadinya!” Katamu
bijak menjelaskan tentang filosofi biola. Kuanggap itu sebagai arahan prolog pra-pertunjukan
dari seorang pelatih. Kau genggam erat lenganku memberi semangat. Aku takjub
menyaksikan rautmu yang sendu. Bahuku menaik. Kuhela nafas dalam-dalam kemudian
bibirku menghembusnya kuat-kuat. Sekarang, semangatku sudah berada pada
titik puncak kepercayaan diri luar biasa.
Sebelum memulai pertunjukan simfoni sederhana itu, kuambil beberapa gerakan SKJ tahun sembilan puluhan, sebuah
gerakan pemanasan. Setelah itu, dengan gemulai kuraut bow-nya menggunakan damar
agar suara gesekannya dapat melengking sempurna. Bukan hanya kendaran bermotor
yang harus dipanaskan sebelum dipakai, bukan? Di selasar taman ini semuanya
akan bermula. Sebuah langkah kecil untuk hasil besar.
“Apakah kau sudah siap, Idea?”
tanyaku penuh keyakinan.
Kau menimpali dengan menggerak-gerakkan
pinggangmu supaya memperoleh posisi duduk yang paling nyaman. Padahal sedari
tadi kau sudah tampak khidmat duduk manis menantikan aksiku. Sudah tak sabar kau
rupanya. Tak lupa kau menyetel rekaman handphone-mu.
Tentu kesempatan langka seperti ini enggan kau lewatkan begitu saja.
Aku hendak memulai
aksi. Posisi tubuhku sudah sangat menyakinkan. Terdengar nada yang agak
sumbang. Barangkali karena hari sudah gelap, sementara penerang di taman ini
tak cukup memperjelas tanda-tanda fret pada
papan dawai biolamu. Rembulan masih sabit.
“Kesan pertama jarang yang
sempurna, Idea. Biasalah, demam panggung,” aku berkilah pura-pura menutupi grogi
yang menggerogot.
Sebuah instrumen Lagu Nasional samar-samar
terdengar canggung. Namun lama-lama semakin tanggung. Gemerusuk dedaunan
bersorak merdu. Semilir angin malam menyepoi memperjelas tempo. Kesunyian,
keindahan, dan cinta memadu satu dalam irama. Nada demi nada mendayu-dayu
menjadi lagu. Lagu tergubah menjadi rayu. ‘Rayuan Pulau
Kelapa’ mengalun merdu nan penuh syahdu. Kau terkesima menyaksikan
simfoniku berkolaborasi dengan suara alam. Azan Isya memberi irama penutupan
yang apik. Hening jadinya. Matamu berkaca-kaca menahan haru. Seutas senyummu menyimpul
bahagia. Nafasku lega menyaksikan itu. (*)
Makassar, 26 Juni 2012
No comments:
Post a Comment