26/06/2012

Dinamika (Kau dan Biolamu 3)

BAHWA hidup itu akan menarik jika ada dinamikanya, barangkali aku menyetujuinya. Perjalanan dalam hidup ini jelaslah penuh liku nan berkelok. Pun jalan yang demikian itu tidaklah selamanya mulus. Terseok-seok, tergelincir, hingga merdeka dan bahagia merupakan beberapa imbas dari sekian banyak konsekuensi dalam perjalanan yang dinamis itu. Hanya pengalaman yang dapat dijadikan bekal pelajaran dalam menitinya. Bergerak merupakan kemestian yang mau tidak mau menjadi keniscayaan, tolok ukur dari perubahan. Bumi yang hanya tampak diam oleh beberapa mata manusia sebanarnya malah aktif bergerak dengan rotasinya mengitari pusat matahari.
Dalam hal yang demikian itu aku sepakat denganmu. Namun dalam berketetapan hati kita pernah berbeda pemahaman. Logikaku ketat mengikat dalam memantapkan pilihan hati, kau masih fleksibel memaknai hal tersebut. Seperti dulu kau pernah berceracau di selasar taman –yang dulu pernah kita namai sebagai taman langit– ketika senja beringsut ke peraduannya.
“Hidup kita tak selamanya akan begini. Ada dinamikanya, naik turun, fluktuatif seperti harga sembako. Hari ini mungkin kita bersedih karena cela dari mereka yang urung mengerti. Esok siapa yang tahu?”
Aku hanya nganguk-ngangguk mencoba memahami. Kubiarkan kau terus melanjutkan.
“Saat ini mungkin kita bahagia karena masih bisa bersama, esok mana tahu? Pun hati ini masih selalu menyoal tentangmu setiap saat. Esok? Entah?”
Kau mengakhiri dengan nada cemas. Lalu menatapku miris bercampur waswas, lantas aku meringis. Saat itu, hanya ‘keadaan’ yang dijadikan sebagai musabab atas masalah yang kadang tak merestui.
Itu dulu. Sekarang, perlahan namun pasti, kau sudah yakin memastikan bahwa aku adalah satu-satunya orang yang pantas untuk kau curahkan setumpuk perhatian, pantas untuk kau jadikan tumpuan di saat rapuhmu. Sampai pada titik yang paling pantas, malah kau menyebutku sebagai separuhmu. Luar biasa, bukan? Semringah kau mengucap itu, aku berjingkrak bukan main dalam hati.
Sementara di belahan Eropa sana, di Polandia dan Ukraina, berlangsung beberapa laga pamungkas kesukaan banyak orang. Bukan hanya para pria, pun banyak kaum hawa telah dihipnotisnya. Sampai-sampai banyak yang dibuatnya panas dingin. Ya, demam Piala Eropa. Kau juga ikutan demam dibuatnya. Bermunculan banyak binatang peramal. Mulai dari yang berkaki banyak, berkaki empat, tak berkaki, atau yang cuma berekor saja. Tahu apa mereka tentang sepak bola? Terkadang manusia selalu menjadikan ketidakmungkinan menjadi sesuatu yang mungkin untuk dilogikakan. Ada-ada saja. Dan sepertinya akan selalu ada.
Saat ini sudah memasuki laga semifinal. Kau mendukung Jerman karena pemain favorit Real Madrid-mu bermain di sana, Mesut Ozil. Sementara aku, mati-matian tetap akan mendukung tim kesayanganku, Spanyol. Mayoritas pemain Barcelona bermain di sana. Kita mempunyai alasan yang serupa. Terkadang El Classico memang menyisakan beragam ketidaksepahaman bagi para pendukungnya. Namun aku berharap kedua negara itu dapat bertemu di laga final nanti. Apa salahnya kalau kita berbeda minat. Sesekali perbedaan kita jadikan sebagai perekat, supaya ada dinamika.
***
Di sebuah rumah sederhana yang tak begitu luas, aku tinggal dengan beberapa kawan. Sebut saja mereka sebagai Bandoci dan kawan-kawan. Tak elok menyebutkan nama mereka satu persatu. Sebab kalau jadi populer, bisa-bisa mereka malah minta upah karena namanya telah kujadikan tokoh ke dalam cerita ini. Gengsi mereka terlalu tinggi. Jadinya, hanya kalau rumah sedang sepi barulah aku semangat latihan menggesek biola. Sangat tidak nyaman bila mereka sedang di rumah, terutama Si Bandoci itu. Yang dilakukannya hanya mengejek dan mencibir. Bayangkan saja, hasil bunyi gesekan biola perdanaku dikiranya lebih mirip (maaf) suara kentut yang sengaja dikeluarkan sedikit demi sedikit. Ada-ada saja.
Tanah airku Indonesia
negeri elok yang amat kucinta
tanah tumpah darahku yang mulia
yang kupuja sepanjang masa...
Entah dapat wangsit dari mana, instrumen Lagu Nasional 'Rayuan Pulau Kelapa' itu nyelonong masuk seenaknya mondar-mandir ke dalam kepalaku ketika memulai mempelajari nada-nada pada biola. Padahal aku termasuk pemerhati lagu-lagu pop terbaru negeri ini. Apalagi yang bergenre galau –salah satu jenis lagu terfavorit umat manusia Indonesia saat ini. Agustusan juga masih terbilang jauh. Mungkin di zaman penjajahan dulu, biola selalu identik dengan instrumen lagu-lagu nasionalisme seperti yang dilakukan WR. Supratman. Ataukah karena kunci nada lagu karya Ismail Marzuki tersebut hanya berkutat pada nada mayor seperti G, C, dan D saja. Sementara nada dasar biola adalah G, D, A, dan E. Berbeda dengan jenis lagu-lagu galau itu, pada umumnya bermain pada nada-nada minor seperti Am, Dm, dan Em. Otomatis nadanya selalu miris, membuat hati meringis dan tentu menyayat-nyayat hati.
Pengetahuanku tentang gitar sebanarnya sudah ada dan mumpuni dalam memainkan beberapa lagu. Sebut saja lagu rock lawas Sweet Child of Mine milik Guns n Roses. Atau beberapa lagu hits Rolling Stone, Metalica, dan Nirvana. Kau percaya? Syukurlah kalau kau tidak memercayainya. Aku cuma mampu menyebutkannya saja. Bahwa aku sedikit memiliki pengetahuan dan bisa memetik gitar itu memang benar. Tetapi jangan harap mampu bernyanyi seperti Iwan Fals dan Sandhy Sondoro yang teramat lihai bernyanyi sambil memetik gitar. Tapi kalau hujan sedang lebat-lebatnya, mungkin aku bisa kalian adu. Diadu berteriak tak karuan atau memutuskan tali-tali gitar.
Berbeda dengan gitar, biola tidak mempunyai fret penanda jari. Jadi mesti memiliki rasa musik yang tinggi dan membutuhkan daya kesabaran luar biasa. Salah-salah menekan titik nada, sumbanglah suara gesekannya. Makanya mentormu dulu sengaja memberikan tanda fret berupa isolatif merah pada papan dawainya supaya lebih mudah diingat. Tanda-tanda itu disesuaikan dengan skala nada mayornya.
***
 
 Sumber : di sini

“Biola itu tidak harmonis, kurang padu, beda, dan cenderung sendiri. Namun tatkala baur, simfoni jadinya!” Katamu bijak menjelaskan tentang filosofi biola. Kuanggap itu sebagai arahan prolog pra-pertunjukan dari seorang pelatih. Kau genggam erat lenganku memberi semangat. Aku takjub menyaksikan rautmu yang sendu. Bahuku menaik. Kuhela nafas dalam-dalam kemudian bibirku menghembusnya kuat-kuat. Sekarang, semangatku sudah berada pada titik puncak kepercayaan diri luar biasa.
Sebelum memulai pertunjukan simfoni sederhana itu, kuambil beberapa gerakan SKJ tahun sembilan puluhan, sebuah gerakan pemanasan. Setelah itu, dengan gemulai kuraut bow-nya menggunakan damar agar suara gesekannya dapat melengking sempurna. Bukan hanya kendaran bermotor yang harus dipanaskan sebelum dipakai, bukan? Di selasar taman ini semuanya akan bermula. Sebuah langkah kecil untuk hasil besar.
“Apakah kau sudah siap, Idea?” tanyaku penuh keyakinan.
Kau menimpali dengan menggerak-gerakkan pinggangmu supaya memperoleh posisi duduk yang paling nyaman. Padahal sedari tadi kau sudah tampak khidmat duduk manis menantikan aksiku. Sudah tak sabar kau rupanya. Tak lupa kau menyetel rekaman handphone-mu. Tentu kesempatan langka seperti ini enggan kau lewatkan begitu saja.
            Aku hendak memulai aksi. Posisi tubuhku sudah sangat menyakinkan. Terdengar nada yang agak sumbang. Barangkali karena hari sudah gelap, sementara penerang di taman ini tak cukup memperjelas tanda-tanda fret pada papan dawai biolamu. Rembulan masih sabit.
“Kesan pertama jarang yang sempurna, Idea. Biasalah, demam panggung,” aku berkilah pura-pura menutupi grogi yang menggerogot.
Sebuah instrumen Lagu Nasional samar-samar terdengar canggung. Namun lama-lama semakin tanggung. Gemerusuk dedaunan bersorak merdu. Semilir angin malam menyepoi memperjelas tempo. Kesunyian, keindahan, dan cinta memadu satu dalam irama. Nada demi nada mendayu-dayu menjadi lagu. Lagu tergubah menjadi rayu. Rayuan Pulau Kelapa mengalun merdu nan penuh syahdu. Kau terkesima menyaksikan simfoniku berkolaborasi dengan suara alam. Azan Isya memberi irama penutupan yang apik. Hening jadinya. Matamu berkaca-kaca menahan haru. Seutas senyummu menyimpul bahagia. Nafasku lega menyaksikan itu. (*)

Makassar, 26 Juni 2012

19/06/2012

Simfoni (Kau dan Biolamu 2)

TAK terasa tiga pekan tiga hari terlewati. Selama itu juga biolamu sudah mengisi kekosongan kamarku. Beragam kekalutan yang diretasnya. Nada gesekannya menjadi penawar atas pening yang terus menukik. Kemilau dan kemolekannya menjadi pelipur tatkala imaji tak mempan menghunjam rindu. Biolamu selalu tampak seperti seekor kucing anggora, mengendus-endus berharap selalu ingin dielus dan dimanja-manja. Jadilah aku seperti seorang ayah muda yang begitu semringah ketika memasuki rumah karena sang buah hati cekikian lucu memberi sambutan kebahagiaan. Menatapnya, aku mengingatmu.

Waktu hampir sebulan itu kulalui dengan pola hidup yang kebanyakan orang menyebutnya dengan kata ‘sibuk’. Sibuk menjadi satu-satunya alasan paling rasional untuk mendukung pengelakan atas keadaan yang tak dipungkiri. Tetapi kenyataannya memang demikan. Tugas-tugas kuliahku menumpuk hebat, selaras dengan pakaian kotor yang terus menggunung. Ujian demi ujian silih datang bergantian karena masa semester sudah sampai di ambang nadi pengakhirannya. Alhasil halaman ini berasa tandus, kering karena kelamaan tak disirami dengan air kehidupan. Kadang kau tak luput juga ketularan sibuk, sibuk memerhatikanku. “Jangan terlalu larut mengerjakan tugas. Jaga hati dan kesehatan!” katamu sering lewat pesan singkat.

Tentu aku masih ingat jelas titahmu saat meminjamkanku biolamu dulu. Maka dengan sengaja aku membeli sebuah gembok anti maling paling top dalam dunia permalingan. Karena takut kalau biolamu sampai kenapa-kenapa, tasnya terpaksa aku gembok. Mencegah jauh lebih baik, bukan? Aku tak mampu membayangkan kalau sampai terjadi sesuatu yang memang tak sanggup kubayangkan. Bisa-bisa nanti dijahili oleh kawan-kawan serumah –terutama Si Bandoci– atau malah raib dibawa maling. Aku tak mau itu terjadi. Itu barang kesayanganmu. Mau tidak mau strategi pengaman ‘kelas satu’ mesti kuterapkan. Walau seperangkat alat kamera CCTV tak mampu kupasang di segala penjuru rumah dan di setiap sudut kamarku, –mungkin kata paling tepatnya adalah tak mampu kubeli– namun dengan gembok itu kurasa sudah sangat cukup.

Sudah kumantapkan bahwa besok biolamu akan kukembalikan. Waktu hampir sebulan itu kurasa sudah cukup untuk mempersembahkan sebuah hasil. Dan tepatnya malam hari di selasar taman akan kugelar sebuah pertunjukan kecil-kecilan kepadamu, simfoni sederhana. Langkah kecil untuk hasil yang besar. Tidak ketinggalan sebuah rencana kejutan kecil-kecilan telah kusiapkan. Kusisipkan satu novel terbaru karya orang Makassar “Lontara Rindu” milik Gegge Mappangewa ke dalam saku tas biolamu, lengkap dengan beberapa kata persembahan di halaman sampulnya. Pun pakaian terbaik sudah kusetrika. Semua telah terkonsep rapi. Sisa menunggu sampai esok tiba.
***
Coky Sitohang memberikan sambutan pembukaan yang meriah. Tirai hitam lebar perlahan tersingkap. Tanganku menampik silauan gerlap karena cahaya lampu menyorot tepat memenuhi sekujur tubuhku. Suara tepukan dan elu-elukan memanggil namaku bergemuruh riuh di seantero ruangan yang luas melingkar seperti stadion bola. Tiga perempat ruangan itu menjadi panggung megah yang berlangitkan cahaya temaram yang kerlip berwarna-warni. Sisanya dipenuhi oleh kursi-kursi merah yang disesaki oleh ribuan orang. Sebuah spanduk besar terbentang, “you are the next master of violin”. Namaku besar-besar tertulis di situ. Ya, ini adalah panggung pertunjukan, konser tunggalku.

Kutilik deka demi deka sekelilingku. Busana yang kupakai tampak tak seperti biasanya. Setelan jas hitam mengkilap pas membungkus tubuh rampingku. Kurasakan nafasku tersengal karena dasi kupu-kupu menyimpul kaku di leherku. Terasa kuat jemariku menggenggam seperangkat alat musik. Tak salah lagi, ini biola dengan bow-nya. Dari arah belakang terlihat puluhan musisi sedang khusyuk pada posisinya masing-masing dengan alat yang berbeda satu sama lain. Piano, biola, cello, gitar, saksofon, bas, perkusi, drum, dan rekan-rekan sejawatnya di dunia permusikan, semua tampak hadir, lengkap. Tampak seorang sedang berdiri berlagak seperti pemimpin memegang tongkat kecil. Aku terperanjat. Dia salah seorang dirigen kenamaan. Benar, itu Erwin Gutawa. Dari arah depan, di barisan kursi VIP bagian terdepan samar-samar kulihat beberapa wajah yang sepertinya aku kenal. Tak salah, mereka itu maestro biola kebanggaan negeri ini, Idris Sardi, didampingi oleh Maylaffayza dan Iskandar Widjaja. Juga tidak ketinggalan seorang yang bertubuh subur memakai topi bulat –lebih merip baret– yang menutupi sebagian rambut ikalnya. Lidahku kelu, itu Andrea Hirata.

“Idea di mana?” Aku mencarimu. Tiga kursi di samping penulis Belitong itu masih tampak kosong. Sang konduktor terlanjur sudah menghentakkan palu, tanda dimana musik mulai mengalun. Aku mulai menggesek biola. Sebuah nada sendu mengalun merdu, berharmoni dengan racikan musik sang komposer ulung itu. Sekonyong-konyong terdengar suara yang menggumam, menyeruak mulus beresonansi dengan alunan nada yang sudah aku kuasai betul. Lampu menyorotnya berjalan menghampiriku. Ia bersenandung mengikuti irama.
Apa yang terjadi dengan hatiku
kumasih di sini menunggu pagi
Seakan letih tak menggangguku
kumasih terjaga menunggu pagi...
Kupikir cuma instrumennya saja yang aku bawakan. Siapa sangka, Ariel Peterpan malah menyanyikannya berduet denganku. Itu lagu favoritku. Sering kusetel saban pagi ketika sedang menikmati prosesi pergantian malam menuju siang. Oh iya, itu juga termasuk lagu kesukaanmu. Apalagi kalau sedang meredam emosimu yang terus meradang. “Hufh.., sudahlah. Masih menunggu pagi,” katamu pasrah ketika lelah tak mampu menjelaskan maksud hati.

Dalam suasana keindahan itu, seorang perempuan manis berjilbab tampak sedang berjalan memasuki barisan kursi terdepan yang masih kosong tadi, sambil mengiring dua orang tua yang sudah agak renta. Aku lega, itu kamu dan kedua orang tuaku. Namun sebelum duduk, kau mengukuir sebuah isyarat di udara. Sebuah kalimat penyemangat yang selalu kau kirimkan sebelum tidurku. Kau menyebutnya sebagai suplemen hati. Tak elok kusebutkan di sini. Aku terus menggeliat menggesek biola dengan hebatnya. Ariel masih bersenandung dengan suara menggumam ciri khasnya. Sesekali Andrea Hirata terlihat semringah berdecak kagum. Erwin Gutawa tetap tegap, lihai mengukir perintah nada-nada kepada para pemusik orkestranya. Mereka tokoh-tokoh favoritku. Semua tampak larut menikmati. Sebuah pertunjukan luar biasa, simfoni.

 Sumber : di sini

            Suara drum mendentum hebat. Lama-lama terdengar tambah keras. Malah terdengar rusuh memekikkan gendang telinga. Tempo iramanya terdengar mulai tidak karuan, sumbang, dan semakin keras saja. Dentuman musik drum tadi malah mirip suara pukulan pintu kamar oleh seseorang yang beringas memukul-mukul beduk takbiran. Tak salah lagi, dia Bandoci, kawan serumah yang berusaha membangunkanku. Bau sengir tak sedap tercium menyengat di sekitar bantal yang tampak masih basah membentuk pola seperti pulau-pulau kecil tak berpenghuni. Mataku membelalak, sontak kaget bukan main. Kulihat sebuah biola tergelatak bersama bermacam-macam jenis buku kuliah. Tak salah lagi, itu biolamu. Benar, aku bermimpi. (*)
(Bersambung)

Makassar, 17 Juni 2012