MUNGKIN lantaran ikan asin yang selalu menjadi sajian makanan kami
saban hari. Mungkin karena tak punya banyak uang untuk membeli buku-buku sastra
dan buku pelajaran lain, asumsiku bergeliat mengenai sebab kenyataan hidup yang
pelik. Mempersoalkan tentang keadaan keluarga yang tak semestinya begini. Sampai-sampai
mendiskreditkan Tuhan yang mungkin telah keliru menakdirkan hidup seperti ini.
“Aku ini punya bakat terpendam, Ammak!”
Dalam hati aku bergumam kepada ibu. Sadar
bahwa ada bakat luar biasa yang terpendam dalam diriku. Tumbuh kembangnya bakat
itu mungkin sangat bergantung dari asupan makanan yang bergizi setiap hari, serta
lingkungan keluarga yang mapan dan berkecukupan, menurutku.
“Loh, kalau setiap hari makanannya cuma begini?”
gumamku berlanjut mempersoalkan makanan.
Berenam, kami termasuk salah satu keluarga golongan
garis bawah seperti kebanyakan di kampung. Bermata pencaharian yang cuma mengandalkan
keberuntungan dari hujan –petani sawah tadah hujan. Tak ada bantuan irigasi
dari pemerintah kabupaten. Pun berkali-kali warga kampung telah menjeritkannya
kepada yang terkait. Sampai dahi mereka mengerut bukan karena sudah tua lapuk. Sampai
mulut mereka berbusa-busa bukan karena epilepsi yang akut, hanya acuh tak acuhnya
saja seolah tak peduli. Banyak alasan yang mereka terima. Belum ada anggaran,
belum dianggarkan, atau karena anggarannya belum turun. Bertahun-tahun tetap
seperti itu. Dulu sampai sekarang belum ada yang berubah. Cuma jalanan aspal
yang sudah berubah. Sudah banyak lubang-lubangnya sekarang.
Tiga saudaraku sudah tidak tinggal di kampung.
Si sulung ke kota dengan alasan ingin kursus komputer sambil bekerja paruh
waktu sebagai pramusaji di warung-warung makan. Selang tak berapa lama ia
pulang membawa segudang sesal. Kehidupan di kota sangat susah dan kejam,
katanya penuh pasrah. Sedangkan dua saudaraku lainnya minggat memilih merantau
ke Kalimantan dan Malaysia selepas tamat sekolah. Gamang mereka bermimpi
menjadi seorang sarjana. Tak ada biaya melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi. Lantas bingung tak tahu mau jadi apa. Sisa aku, si bungsu yang masih duduk
di bangku sekolah menengah pertama. Susah payah bersekolah dengan biaya hasil
panen ayah yang tak menentu. Seingatku, belum ada program Bantuan Operasional Sekolah
kala itu. Belum ada jargon pendidikan dan kesehatan gratis.
Kudapati ayah sedang makan selepasku mandi
pagi sebelum berangkat ke sekolah. Sudah kebiasaannya menyantap sarapan –kadang
merangkap sebagai makan siang– dengan menu nasi putih dan ikan asin di beranda rumah,
sebelum ia berlalu mengayuh sepedanya menuju lahan persawahan warisan orang
tuanya di seberang kampung. Sembari makan, pandangannya berarak jauh ke depan,
kosong. Entah ayah sedang memandangi apa? Ataukah cuma sedang berkhayal tentang
sebuah kehidupan yang lebih baik untuk anak-anaknya, kelak? Pun belum sempat aku
menanyainya tentang kebiasaannya itu.
Jarang aku menggerutu kepada ayah tentang
sajian ibu setiap hari. Selalu, dia hanya diam, tak menimpali apa-apa, pasrah. Entah
alasan mau ke kebun atau ke sawah, dia berlalu begitu saja.
“Arrggh..!!! Saya bosan makan ini terus, Ammak!” kali ini aku lantang menggerutu
kepada ibu.
Dalam kamar ibu tak bergeming. Kali ini ia
harus pasrah memahami gerutuku setiap pagi dan ketika pulang sekolah. Rupa-rupanya
anak pendongkol sepertiku tak pantas lagi ditimpali dengan cemoohan-cemoohan
pula, seperti yang sering ia lakukan kepadaku sebelum-sebelumnya. Pening
kepalanya kalau harus meladeniku beradu gerutu saban hari. Sakit darah
tingginya kambuh lagi. Dan parahnya, aku tak peduli.
Dari dalam kamar, samar-samar terdengar ibu
terisak. Menangis untuk sebuah alasan yang jelas ia mengerti dan belum sempat kumengerti.
Aku beranjak tunggang langgang ke sekolah. Sepeser pun tak ada uang dalam saku
celana. Tak boleh ada istilah jajan untuk anak sepertiku.
Sedikit pun tak ada rasa bersalah dariku, atau
sekadar sebuah penyesalan. Tak ada reaksi muka yang menyendu berbalut gamang
akan tetesan air mata seorang ibu. Dalam pikirku, tak ada yang terbayang
tentang pedihnya azab yang harus kutuai akibat kedurhakaanku. Saat itu, aku
belum tahu apa-apa. Aku belum memahami tentang arti sebuah kemiskinan.
Kala itu, aku belum tahu betul mengapa harga
ikan asin semakin mahal. Yang aku tahu, ikan asin yang disajikan ibu tambah
kecil-kecil dan semakin asin saja. Aku belum terlalu peduli mengapa harga-harga
kebutuhan sembilan bahan pokok terus merangkak naik. Yang aku tahu, ibu selalu
melarangku memakai sabun banyak-banyak. Pakai secukupnya saja, katanya. Barulah
belakangan aku mulai tahu melalui percakapan guru-guruku di sekolah. BBM akan naik
lagi, bincangnya.
“Mungkin Barang Barang tambah Mahal yach?” kelakarku
mengartikan singkatan dari BBM itu.
Peduli apa aku kalau harga BBM harus naik.
Toh orang tuaku tak punya kendaraan bermotor, apalagi usaha pabrik berbahan
bakar bensin ataupun solar. Ayah hanya punya sebuah sepeda reyot karatan merek Mustang tahun sembilan puluhan. Minyak
tanah apalagi. Tumpukan kayu bakar di kolong rumah masih terlalu banyak untuk dipakai
ibu memasak sampai berbulan-bulan.
Aku lebih memilih menyendiri di tepi lautan
tak jauh dari rumahku ketika hari sudah sore. Di sana, aku bisa lebih leluasa mempermasalahkan
takdir yang pikir-pikirku kemungkinannya telah terjadi kekeliruan dalam
penyusunannya. Berteriak sekeras mungkin, takkan ada yang dengar. Pun tersedu
sesedih mungkin, takkan ada juga yang bakal peduli. Berlarian ke sana kemari
hingga lelah, lalu menceburkan diri tidak karuan ke lautan. Mengendap-negendap
seperti bayi paus yang tersesat kehilangan induk.
Anak-anak lain seumuranku sedang asyik bermain
play station yang disewakan oleh
seorang kaya di kampung. Mau apalagi, aku tak bisa ikut bersama mereka. Pahamlah,
meminta uang kepada ibu dalam keadaan peceklik seperti ini sama saja dengan mengais-ngais
luka dalam hatinya.
Dua belas tahun telah hangus sejak terakhir
aku menyendiri di tepi lautan itu. Berangsur-angsur keadaan keluarga sudah
jarang kuresahkan di sana. Kulihat rupanya sudah ada perubahan sekarang. Selaras
juga dengan pahamanku dalam memaknai kehidupan. Bahwa bersyukur adalah bentuk
kepuasan yang paling mendasar dalam segala pencapaian, tidak memandang banyak
atau sedikitnya hasil yang diperoleh.
Ibu sudah punya kios sederhana sekarang.
Sudah punya kesibukan dengan berjualan beberapa barang sembilan bahan pokok di
beranda rumah, selain cuma menjadi seorang ibu rumah tangga saja. Ayah juga sudah
punya motor bebek bekas untuk ia kendarai ke sawah, hadiah dari saudaraku yang
telah merantau bertahun-tahun di negeri orang. Kadang jika panen tak kesampaian
karena puso, ojek bisa menjadi sambilan ayah mencari nafkah keluarga.
“Masak apa sebentar, Ammak?” tanyaku senang melihat ibu pulang dari pasar dengan
keranjang penuh dengan ikan segar dan sayuran hijau.
Ada banyak alasan untuk selalu mensyukuri
hidup. Roda kehidupan akan terus berputar karena perubahan adalah sebuah
keniscayaan. Manusia tanpa perubahan, bagaikan benda mati, kata filosof Ali
Syariati. Pun kalau nanti pemerintah tetap jadi menaikkan harga BBM, mungkin
cuma satu yang belum berubah. Dulu dan sekarang, BBM tetap akan naik.
“Perubahan merupakan suatu proses yang spiral
dalam kehidupan. Kita berangkat dari sebuah titik kehidupan –titik di pusat
utara, kemudian memintali setiap ranah kehidupan ini secara spiral pula. Dan
pada akhirnya, lilitan itu akan mentok pada sebuah titik juga –titik di pusat
selatan, titik akhir dari kehidupan kita. Karena hidup seperti siklus, lingkaran
kehidupan, bulat seperti bumi. Hanya dengan bersyukur, setiap pintalan perubahan
itu membuatnya penuh makna!” pikirku bijak ketika berlalu meninggalkan Ammak menuju ke kota, kembali bergumul
dengan tugas-tugas kuliah. (*)
(Pajalele-Pinrang,
29 April 2012)