28/03/2012

Titik Balik

"Semuanya akan stagnan pada sebuah dinding yang besar”

(Sumber Google)

TAK ada yang dapat kusangka sebelumnya. Pun tak ada yang mampu kusangkal akhirnya. Bak seorang filsuf, pernah aku sesumbar mendeklarasikan pernyataan di atas. Pangkal dari beberapa kontemplasi sederhana, memaknai tentang kehidupan secara sederhana pula. Bahwa hidup tak selamanya selalu begini dan tak selamanya selalu begitu. Ada fase di mana kita akan terhenti di sebuah titik, tersungkur layu, tak mampu berbuat apa-apa. Pada momentum itu, tersuguhkanlah beberapa pilihan. Bangkit untuk maju atau bangkit untuk mundur. Pun memilih untuk tidak memilih satu diantaranya juga merupakan sebuah pilihan. Memilih untuk selamanya stagnan, meratapi kemegahan ‘dinding’ tersebut.

Sontak aku terperangah memandangi ‘dinding’ besar itu. Banyak hal yang membuatku miris. Mengukur-ngukur dosa di masa lalu, menimbang-nimbang maksiat yang terlampau bejat, menakar-nakar air mata dari mereka yang telah dipaksanya menetes karena lakuku, juga dekadensi akhlak membuatku semakin ciut, gamang bukan kepalang. Sadar bahwa tuah dari kata-kata yang pernah kucelotehkan benar-benar tertuai sendiri padaku.

Lelah merasai itu, pilihan-pilihan pun telah tersajikan. Memilih dan tak memilih adalah sebuah pilihan. Mudah dulu aku mendemonstrasikannya, sulit kini merealisasikannya. Ketika memilih untuk memilih, aku masih diperhadapkan pada dua pilihan, bangkit untuk maju atau bangkit untuk mundur. Pun ketika memilih untuk tidak memilih satu diantaranya adalah pilihan juga. Aku tak menyangka sampai terlampau rumit seperti ini.

Aku mampunya termangu di beberapa malam sesudahnya. Bertafakur, hanya bisa melakukan itu saja. Meluapkan segala penat keresahan, mendengungkan pinta yang menguap-nguap, berharap dapat berekonsiliasi dengan para malaikat tentang predestinasi Sang Pemilik Segalanya yang menurutku mungkin telah terjadi kekeliruan dalam penetapannya. Menginginkan sebuah resolusi.

Aku ingin hidayah, pintaku secara sederhana.

Berkali-kali telah kurenegosiasikan kepada-Nya. Pun sampai berkali-kali pagi mendapatiku masih dalam keadaan termangu di sisa-sisa tafakur. Aku bosan menyaksikan seruakan cahayanya yang menyusup di sela-sela tirai jendela kamarku. Tersadar bahwa belum terjadi apa-apa, belum ada hasil apa-apa. Kalau pagi saja tak pernah merasa lelah menyapaku, mengapa aku harus lelah? Pinta yang berjerih payah akan menuai hasil yang melimpah ruah, pikirku secara sederhana pula. Setelah itu kumantapkan, bukan pagi yang harus mendatangiku, aku yang harus menunggu pagi.

Sampai pada akhirnya terberai juga kekalutan transendental tentang pilihan itu. Aku akan memilih sekaligus tidak untuk memilih.

Waktu telah berjalan menjejaki angka-angka penutupannya pada penanggalan matahari, duapuluh delapan Maret, sebulan setelah moment kelahiranku. Tetap, aku yang masih menunggu pagi. Kuharap akan tetap seperti itu, meskipun telah ada hasil yang melimpah ruah. Balik lakuku sebagai bentuk syukur kepada-Nya. Kunamai ini sebagai titik balik.

Aku tahu, Tuhan tidak diam. Diam-diam Dia telah merangkul doa-doa dan  sebagian mimpi-mimpiku. Pun aku merasa bahwa porsi hidayah-Nya padaku telah dititiskan kepadanya. “Dari-Nya” oleh “padanya” kepadaku. Dari-Nya kumunajatkan syukur tiada tara atas hidayah luar biasa ini. Kepadanya kuucap terima kasih atas ide yang berderai-derai tiada henti. Atas segalanya itu, kunamailah wadah ini sebagai halaman-halaman untuk Idea.

(Saat menunggu pagi, Makassar, 28 Maret 2012)

20/03/2012

Paragraf untuk Kepergian

(Sumber Google)

PUN kalau Yang Maha Pengatur menginginkan permulaan selanjutnya, itu soal lain. Dimensinya berbeda, dan segalanya akan jadi berbeda. Bukan urusan kita.

***

Layaknya seperti siklus, sebuah permulaan yang dimulai kembali. Apakah sepadan juga dengan sebuah pengakhiran yang diakhiri kembali? Dengan sadar kujawab, tidak. Tidak ada kata ‘akhir’ secara filosofis menurutku. Mengakhiri sama saja dengan...??? 
Sulit, tak ada kata yang kupunya, yang secara sempurna mampu mendefinisikannya. Memberikannya definisi berarti sama saja dengan melanggar eksistensinya, membatasinya. Mendefinisikannya berarti sama saja dengan mengakhiri yang sebenarnya. Sudah, titik, mentok, tidak ada apa-apa lagi setelahnya.

Layaknya seperti siklus, hujan, eksistensinya berada di situ. Namun, esensinya menurutku hanya terjadi pada satu siklus dari hujan itu sendiri, pada saat hujan itu saja. Apakah kalian pikir tetesan air hujan yang merintikmu kemarin itu sama dengan tetesan air hujan yang kembali merintikmu hari ini? Tidaklah seperti itu, kupikir. Tuhan Maha tak terbatas. Tuhan tak akan membatasi kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang perannya selalu sama. Tidak menarik kupikir kalau hanya seperti itu. Semua kita -baik benda apapun- diberikan alasan masing-masing untuk berada di kehidupan ini. Tak ada yang tak memiliki peran, tak ada yang memilki peran yang sama.

Kalau juga seperti siklus, apakah kepergian juga begitu? Apakah juga pergi untuk mengakhiri kepergian-kepergian selanjutnya? Namun, tentang kepergian, aku mempunyai beberapa paragraf khusus tentangnya.

***

Aku pernah memulainya, lalu mengakhirinya. Kumulai kembali, lalu mengakhirinya lagi. Ada apa dengan ke“aku”anku saat itu? Kalau layaknya seperti siklus hujan seperti yang kumaksud sebelumnya, kalau setiap siklus mempunyai dimensinya masing-masing yang membuatnya selalu berbeda, lalu mengapa selalu berulang? Berulang dan tetap berulang? Apa ini cuma permainan siklus yang tak bermakna apa-apa? Ataukah masih merupakan bagian dari fase-fase menuju sebuah kesempurnaan?

Tendensiku ada pada pilihan yang terakhir.

Ingin sekali kukatakan, dan selalu ingin kukatakan. Pada dimensiku, tak ada kata ‘pergi’ ataupun ‘akhir’ kepadamu. Hanya karena tak ada kata yang sempurna saat itu untuk menjelaskannya. Hanya karena waktu dan kondisi yang tidak memihakku saat itu. Hanya karena banyak sebab yang tak mampu kupleidoikan di depanmu saat itu. Naif rasanya ketika harus mengungkitnya kembali. Sudahlah, toh ini bukanlah sebuah pengakhiran yang sebenarnya, masih bagian dari proses menuju kesempurnaan, katamu.

Aku akan memulainya lagi untuk melanjutkan yang tak pernah akan kuakhiri, gentar sedikitpun tak. Aku sudah kebanjiran kata-kata untuk menjelaskannya kembali. Aku sudah diberi banyak waktu dan kesempatan yang akan selalu memihakku. Aku sudah kelebihan bukti untuk memperkarakannya kembali. Kini, aku sudah punya banyak alasan untuk melanjutkannya kembali. (*)

(Makassar, 20 Maret 2012)

18/03/2012

Cemburu


DI senja ini aku adalah sepatah kata yang tak bermakna. Sayapku patah melunglai tak berdaya. Rapuh bersimbah penat dan jerih. Hanya seperti konjungsi dalam kalimat tak beraturan. Hanya seperti muara yang mengasimilasi sungai ke lautan luas. Hanya seperti senja yang mengantarkan siang ke peraduan malam. Bingung menerangkan arti tentang maksud hati yang selalu bersenandung sumbang.

Aku ingin mencintaimu secara sederhana, seperti kata yang tak mampu mengungkap sesuatu secara sempurna. Tak cukup kata untuk menjelaskannya. Tak cukup arti untuk mendefinisikannya. Tak cukup tanda untuk memaknainya. Pernah kutawarkan tentang cinta yang sederhana kepadamu, pun sepadan dengan syukur dalam caramu menerimanya.

Kau bagai angin di bawah sayapku. Tanpamu, sendiri aku tak bisa seimbang. Sejenak telah kucoba sumbar merajai angkuhku. Seketika ciut menyadari lemahku tak bersandingmu. Lalu kepada siapa jerit ini kutengadahkan? Kepada siapa penat ini kukeluhkan? Kepada siapa payah ini akan kujerihkan? Pun senja tak menimpali apa-apa. Sekadar untuk menyiratkan peduli melalui lembayung di ujung samudera.

Di senja ini aku tahu kau sedang apa dan di mana. Pikiranku pasrah mengizini, hatiku sengal mengingkari. Seperti madu, hanya mencair di depan api dan tak membeku kecuali bila diletakkan di atas es. Tak mencair, pun tak membeku. Siang sekan lambat melambai malam, pun malam enggan merangai siang. Sendiri aku di sini, bersama senja yang tak berkesudahan. Kini aku rela mengakui, aku sedang cemburu.

(Di senja hari, Makassar, 18 Maret 2012)

15/03/2012

Go Ahead

TENTANG hujan, aku pernah berceloteh tentangnya kepadamu. Kita ini seperti hujan. Kita menguap bersama di lautan, merintik bersama di permukaan, terberai ke sana kemari karena sungai yang beraneka lintas. Tak peduli dengan seberapa teriknya matahari saat itu, tak peduli dengan seberapa bencinya mereka yang hendak bepergian, tak peduli dengan seberapa dahaganya sawah-sawah tadah hujan yang selalu puso. Mari kita pedulikan diri kita saja. Karena, kadang peduli kita kepadanya, mereka bilang, telat. Sering peduli kita kepadanya, mereka bilang, belum saatnya. Tak jarang juga peduli kita kepadanya, mereka bilang, Alhamdulillah.
 
Mari kita berbasah-basahan saja dalam hujan kita sendiri. Biarkan mereka sibuk dengan jabatannya yang kadang tak amanah, biarkan mereka linglung dengan ibadah-ibadah agamanya, biarkan juga mereka tetap istikamah dengan tanggungjawabnya. Toh kita akan ke laut juga. Memulai sebuah permulaan-permulaan baru, membuat kita selalu tampak baru di hati dan pikiran mereka.

Seperti kidung bijakmu kemarin sore, “jarak tahun ke tahun hanyalah sebuah relativitas. Sebuah permulaan yang berubah menjadi permulaan kembali. Suatu masa selalu menuju ke pemberhentian, namun hanya untuk memastikan dimulainya kembali sebuah permulaan. Layaknya siklus, berulang dan terus berlanjut. Dunia tak membiarkan suatu hal berhenti sepenuhnya, tak ada yang benar-benar selesai. Keterbatasan tak selamanya berakhir miris.” Takjub aku mendengarnya.

Tak perlu risau dengan cercaan yang –akan dan selalu- mendengki kita. Pun tak penting pula mencari dukungan dari mereka untuk sebuah pengakuan. Hujan kita akan tetap pada siklusnya, mereka tetap pada jalannya masing-masing. Go ahead sajalah.

(Ditemani hujan yang sedang merintik, Makassar, 15 Maret 2012)

12/03/2012

Umar Bakri Cuma Guru Honor

(Sebuah cerpen; dimuat di koran Fajar, 11 Maret 2012

(Sumber Google)

KANTUK masih bergelayut di kepala, melanjutkan megah mimpi yang sementara berkisah tentang keheroikan sang tanpa tanda jasa. Lakonnya, aku seorang guru muda mendadak populer dengan video lipsyinc di youtube. Seketika terkenal, diarak keliling sekabupaten menggunakan mobil berpelat merah milik kepala dinas pendidikan pemuda dan olahraga. Menerima banyak tawaran show, menginap di hotel-hotel berbintang, dan dikejar-kejar banyak gadis-gadis. Pun kisah percintaanku menjadi sorotan para infotainment. Tak lupa aku mengajak kedua orang tuaku berangkat ke tanah suci dengan paket ONH plus.

Sekejap buyar oleh teriakan dari balik kamar, berceracau dengan bunyi alarm handphone yang sudah ditunda beberapa kali.

“Bangun, Nak, tililit..tililit.., cepat salat sana, tililit..tililit..!” ibuku memberi perintah.

“Iya, Bu, tililit..tililit.., saya sudah bangun, tililit..tililit..” sahutku setengah terjaga.

Seperti biasa, bangun kesiangan lagi. Kupacu sepeda motorku -yang masih dicicil- menapaki jalan-jalan yang meliuk-liuk mengikuti tepian bukit dengan cuaca yang masih gigil. Jalan yang kutempuh ke sekolah tempatku mengajar terlampau berbahaya lagi menyedihkan. Membutuhkan waktu sekitar enam puluh menit untuk bisa sampai ke sana. Medannya menanjak, membelah bukit demi bukit. Berserakan bebatuan cadas akibat longsor karena hujan sedari malam.

“Selamat pagi, Pak!” seragam suara, siswa serentak memberi sapa seperti siap pentas paduan suara.

“Pagi, anak-anak,” jawabku bijak lalu mengarahkan ketua kelas menyiapkan teman-temannya.

“Seluruhnya, duduk siaaap grak.”

Di sekolah itu tak ada sinyal telekomunikasi. Jadi teramat sulit untuk berinteraksi dengan para relasi, ataukah cuma sekadar berburu informasi tentang kabar hari ini. Hanya orang tua dengan kondisi keluarga tidak mampu saja yang menyekolahkan anak mereka di sana. Tak ada pilihan lain. Sekolah itu merupakan subsidi dari pemerintah yang bekerjasama dengan salah satu lembaga asing yang bergerak di bidang pendidikan.

“Tadi jam pertama kalian belajar apa?”

“Tidak ada, Pak!” sahut lantang ketua kelas.

“Guru-guru PNS itu mana?” tanyaku sedikit kesal.

Ketua kelas diam membatu. Sesekali bingung memalingkan pandangan ke teman-temannya, gamang.

“Tidak datangi, Pak. Sudah beberapa minggumi tidak masuk,” jawab seorang siswi di pojok belakang malu-malu menimpali.

***

“Engkau sarjana muda resah mencari kerja mengandalkan ijazahmu
Empat tahun lamanya bergelut dengan buku tuk jaminan masa depan”

Seperti itulah sepenggal lagu Iwan Fals membekas pedih di hati sanubariku. Tak kunjung menjadi seorang pegawai negeri, selepas wisuda sarjana pendidikan yang aku raih dengan penuh bangga beberapa waktu silam. Mungkin aku juga seperti beberapa orang lainnya. Masuk ke perguruan tinggi tanpa tahu dulu nanti mau jadi apa setelah tamat kuliah. Akibatnya, selepas wisuda kelabakan mencari kerja.

Pernah terbesit dalam pikiranku memasukkan berkas lamaran ke beberapa bank. Namun seketika ciut tersadar bahwa diriku tidak masuk dalam syarat ‘berpenampilan menarik’. Kemampuan berbahasa asingku amburadul. Pun pengetahuan mengelola microsof office juga demikian. Jadilah ijazah cuma formalitas semata. Menjadi guru di yayasan swasta pun agak sulit buatku. Banyak tes-tesnya di sana. Alasan yang sering mereka katakan, “maaf Anda kurang komunikatif dalam mengajar”.

Sekarang pun, menjadi seorang guru pegawai negeri terbilang susah. Mesti punya budget yang cukup untuk memuluskan jalan, mesti punya familly di pemerintahan daerah dan di dinas-dinas terkait, mesti mau mengurut dada tanda pasrah tak mampu berbuat apa-apa. Apalagi dengan kemampuan sekelas diriku. Intelegensi tak memadai ditambah keadaan keluarga yang cuma petani.

Suatu ketika aku ditawari seorang calo untuk menjadi seorang guru pegawai negeri pada saat pendaftaran CPNS daerah. Tawaran tarifnya pun bermacam-macam. Disesuaikan dengan SK penempatan sekolah nantinya. Apakah sekolahnya masuk kategori terjangkau ataukah kategori sekolah terpencil. Pilihan yang terakhir tadi biasanya ditempatkan di pegunungan daerah-daerah terpencil dan tertinggal. Ditempuh dengan beberapa hari perjalanan, menyebrangi sungai-sungai, dan tidak ada jaringan telekomunikasi.

Aku menimbang-nimbang tawaran itu. Orang tuaku telah bersepakat, berencana menggadaikan sawah beberapa petak warisan keluarga kepada orang lain. Kau tahu? Banyak orang tua sekampungku sangat menginginkan anak-anak mereka menjadi seorang pegawai negeri. Mereka sudah sangat bangga jika anak mereka telah mendapatkan status seperti itu. Meskipun harus menempuh jalan-jalan yang dilarang keras oleh KPK. Mereka hanya ingin anak-anak mereka sukses menjadi seorang guru dengan tunjungan sertifikasi yang menggiurkan, serta bahagia di hari tua dengan tunjangan pensiun yang menjanjikan.

Aku bingung mesti bagaimana. Di satu sisi, kalau sudah jadi guru PNS, aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku dengan mendaftarkannya di bank perwakilan departemen agama sebagai daftar tunggu calon jemaah haji. Dengan jalan mengambil kredit dari bank dengan jaminan SK pengangkatanku nanti. Di sisi lain, aku juga tidak tega menggadaikan tanah persawahan ayahku. Kalau pun jadi digadaikan, itu pun baru separuh saja. Belum cukup untuk jadi tebusan jika tawaran menjadi guru itu aku terima. Sementara tidak ada istilah depe dalam hal joki pegawai negeri tersebut. Istilahnya, ada uang ada barang.

***

Kalau kalian pencinta Iwan Fals, tentu tahulah sosok Umar Bakri. Kebetulan namanya sama denganku. Aku hanya seorang guru honor, bukanlah guru yang sudah mempunyai nomor induk kepegawaian. Gajiku seadanya saja. Kadang dibayar setiap tiga bulan, atau cuma sekali dalam setiap satu semester.

Aku hanya mampu menjadi seorang guru honor di sebuah sekolah yang masuk kategori terpencil itu. Tak ada kepala sekolah di perkotaan yang mau menerimaku mengajar di tempatnya. Pun sudah beberapa kali aku mengikuti tes-tes penerimaan CPNS namun tak kunjung diterima juga. Tak tega aku menerima tawaran calo PNS itu, kasihan kedua orang tuaku.

Oleh pemerintah, telah banyak janji tentang kesejahteraan kami para guru honor. Kadang kami hanya dijadikan alat bagi mereka yang butuh kekuasaan. Ketika menjabat, lupalah mereka dengan janjinya. Berganti pimpinan berganti kebijakan. Nasib kami terombang-ambing, sesuka mereka memainkannya. Persetan dengan kalimat penggugah itu –pahlawan tanpa tanda jasa. Adakah yang seperti itu? Kisahnya mungkin hanya ada di tempat-tempat nun jauh di sana. Sebuah tempat yang masih steril dari pengaruh materi dan kekuasaan. (*)

Makassar, 7 Maret 2012

10/03/2012

Sudah Lupa

KUPIKIR banyak hal yang telah berubah kini. Barangkali aku sudah lupa dengan berpacaran itu bagaimana? Berhubungan dengan seorang perempuan itu seperti apa? Dan tak tahu harus memulai dari mana? Mendadak tidak romantis lagi. Ide merangkai puisi penakluk sudah tidak bertaji, apalagi rayuan gombal ala Andre Taulani, sudah tak berapi-api. Pun style dan gaya busana keren masa kini sudah tak lagi ter-update setiap hari. Aku di sini, sedang kering inspirasi.

Aku sudah lupa juga dengan tempat-tempat yang romantis untuk berduaan. Pun sudah tak tahu lagi dengan jadwal film romansa yang sedang tayang. Aku hanya bisa mengajakmu ke surau ketika adzan berkumandang. Berduaan, lalu melanjutkan perjalanan kita menuju tempat-tempat yang menawarkan beragam tayangan ilmu-ilmu. Aku tak punya banyak pulsa lagi untuk menelpon di larut malam, membuang waktu membincang hal yang kadang tak jelas. Pulsaku tersisa hanya untuk beberapa sms gratis saja, sekadar untuk mengajakmu bertahajud di sepertiga malam dan di ibadah-ibadah lainnya.

Ada orang yang mengataiku, kamu itu laki-laki ‘matre’ dan kini sudah jadi ‘kere’. Aku takkan menimpali tuduhan itu. Kuterima saja hipotesisnya tanpa harus mengelus dada. Toh belum teruji validitasnya. Pun seseorang juga pernah berkata dalam tulisannya, sesuatu yang selalu ditempa akan jadi semakin berkilau. Harapku juga demikian. Sekiranya memang aku harus menjadi ‘kere’ karena perubahan ini, tak apalah. Biar sajalah aku ‘kere’ dengan materi yang kadang menyilaukan itu. Namun, mudah-mudahan akan berkecukupan dengan damai batin dari-Nya yang perlahan nikmatnya mulai terasa.

Kuharap perubahan ini bukan karena siapa-siapa dan bukanlah karena apa-apa. Sakit dan kecewa oleh beberapa orang mungkin sangatlah wajar. Pun aku sangat mafhum dengan hal itu. Sungguh tak ada niat untuk melakukannya, mengalir begitu saja. Namun, sakit dan kecewamu itu semoga segera terbalaskan dengan bahagia dan gembira yang berlimpah, senantiasa kudoakan kepada-Nya.

Yaa, aku sudah lupa. Yang aku ingat adzan subuh sudah berkumandang. Tak sadar sudah sampai di akhir halaman ini. Kuakhiri dengan mengutip pesan dari perempuanku di pagi kemarin, “motivasi yang membuat seseorang mau melangkah, dan komitmen membuat seseorang terus melangkah”. (*)
(Makassar, 09 Maret 2012)

06/03/2012

Aku Ingin Menjadi Nol

ESENSI dari angka-angka yang sering kita bicarakan adalah nilai 1 2 3 4 5 6 7 8 9. Pun banyak diantara kita memberikan makna dari setiap angka-angka itu. Banyak interpretasi bermunculan tentang mereka. Jadilah ada yang menyebutnya sebagai angka hoki, angka sial, angka keramat, dan sebagainya. Ketika diantara mereka membentuk sebuah rangkaian berupa deretan-deretan satu sama lain, maknanya pun berubah menjadi nominal harga yang begitu populer. Kesembilan angka itu pun seketika menjadi seksi oleh mata para parakang harta dan kekuasaan. Sekaligus juga menjadi khayalan siang bolong bagi para masyarakat miskin terpinggirkan. Banyak hal yang bisa terjadi ketika kombinasi kesembilan angka itu deretannya semakin bertambah. Tentu nilainya akan bertambah menggiurkan, pun juga bertambah tidak mungkin. Kupikir pahamlah kita tentang fenomena itu.

Lantas kita kemanakan angka nol (0) itu? Tak begitu pentingnyakah keberadaannya diantara mereka bersembilan? Kita selalu mengidentikkannya dengan sesuatu yang kosong, hampa, sia-sia, bahkan tak berarti apa-apa. ‘Nol besar’ sering kita ungkapkan sebagai sebuah nilai kegagalan. Angka ini cuma sebagai alat bagi mereka -bersembilan- untuk menguatkan eksistensinya masing-masing sebagai angka dengan nilai nominal yang tinggi-tinggi. Dirinya terombang-ambing kesana-kemari tak jelas arah dan tujuannya. Berseliweran masuk ke rekening-rekening yang sudah sangat gendut, terselip di amplop-amplop tak beralamat, ataukah nyasar ke saku-saku celana yang tak jelas dari mana datangnya.

Kalau kalian begitu bangga menggunakan kesembilan angka itu. Maka dengan lantang aku mengatakan, aku ingin menjadi nol (0) itu. Mungkin aku memang seperti angka itu. Sangat sadar aku tak memiliki apa-apa. Hidupku penuh dengan kehampaan dan sangat membosankan. Kalian juga sering mengacungkan jempol terbalik kepadaku sebagai simbol tak berarti apa-apa. Biarkan saja. Aku tetap bangga menjadi angka 0/nol itu.

Tapi satu hal yang mesti kalian ketahui. Eksistensimu bergantung dari posisiku kawan. Eksistensimu akan bernilai tinggi jika aku menempatkan diriku berderet di samping kananmu setelah titik. Namun seketika eksistensimu tak bernilai apa-apa, bahkan jauh dari apa-apa, jika aku menempatkan diriku berderet di samping kirimu sebelum koma, mendesimalkanmu. Sadarilah akan hal itu kawan dan pahamilah bahwa begitu esensialnya posisiku terhadap eksistensimu.

Kepada perempuan terkasihku. Janganlah lagi dirimu menganggap ini sesuatu yang materialis. Itu untuk mereka saja yang tak menghargai keberadaanku sebagai angka nol (0). Untuk mereka saja yang menyepelekan nilai sebuah angka yang kosong. Untuk mereka saja yang tak menghargai sesuatu yang tak memiliki apa-apa.

Sekali lagi kepadamu aku ingin berkata wahai perempuanku. Diriku tak memiliki apa-apa. Aku hanya ingin menjadikan dirimu -kita- lebih berarti dengan menderetkan angka 0/nolku  berada di posisi samping kananmu setelah titik. Terserah dirimu mau memilih dari kesembilan angka itu. Akan kusuguhkan kepadamu angka nol setelah kesembilan angka yang telah kau pilih itu. Entah 1 digit nolku, 2 digit, 3 digit, 4 digit, 5 digit, 6 digit, 7 digit, 8 digit, 9 digit, bahkan dengan digit yang tak terhingga sekalipun. Aku bukanlah apa-apa tanpa dirimu. Maka izinkanlah aku menjadi nol di samping kananmu setelah titik. (*)

(Makassar, dini hari 6 Maret 2012)

02/03/2012

Peti dan Kunci

KUPIKIR hanya sejenak meninggalkannya di daratan itu, berbekal rasa kecewa memilih berlayar, mencari sebuah peti harapan yang terombang-ambing di tengah lautan ketergantungan. Belum sempat kutemukan, perahuku terseret oleh ombak besar, yang tanpa sengaja terdampar pada sebuah pulau baru. Keyakinanku bahwa suatu saat nanti peti itu pasti akan kutemukan dan kukembalikan ke daratan yang sesungguhnya, bersama dengannya tentu.

Sebuah daratan yang sebenarnya menjadi tempat terakhirku untuk menjalani hidup bersamanya. Peti itu memiliki sebuah kunci abadi yang ia kalungkan di lehernya. Kita tak pernah tahu isinya jika peti tak ditemukan dan tak dipertemukan dengan kuncinya.

***

Telah menjadi predestinasi-Nya, menciptakan segala bentuk rupa dengan desain alam yang sedemikian apik, mengombinasikan segala teka-teki kehidupan bagai sebuah rangkaian puzzle yang menginginkan adanya keterbentukan dari keinginan yang seharusnya. Entah ia terbentuk secara mekanis, alamiah, maupun karena adanya campur tangan manusia. Itulah hidup, sebuah misteri bagi kehidupan manusia saat ini, yang kemudian akan terpecahkan dengan sendirinya oleh beberapa pemikiran-pemikiran cerdas manusia di masa yang akan datang. Pecahan-pecahan itu pun akan terurai menjadi beberapa problem yang menuntut adanya sebuah pemecahan yang solutif dan cerdas dengan segala bentuk ketajaman pola pikir manusia mengikuti alur zaman yang konon semakin edan. Apapun itu, segala dinamika kehidupan ini akan terus terangkai mengiringi progresivitas paradigma pemikiran manusia.

Sama halnya dengan beberapa bentuk-bentuk dikotomi yang bersimbiosis mutualisme. Ada pria ada wanita. Ada yang kaya ada pula yang miskin. Ada kebencian dan ada kerinduan, dan seterusnya. Semua itu potret kehidupan manusia dengan dua sisi mata uang yang independentif namun akan berarti bila bereaksi secara bersama. Akan tercipta nuansa baru ketika dua hal tersebut disatukan, atau lebih tepatnya dipertemukan. Semua orang tahu dan mengetahui ada hal apa apabila yang demikian itu terjadi. Contohnya adalah peti dan kunci, yang selanjutnya akan menjadi sebuah kisah menarik namun sedikit tragis, menurutku.

Ungkapan “peti dan kunci” berangkat dari sebuah bentuk kontemplasi diri, hasil renungan kurang sempurna, sebuah kisah penyesalan akan cinta yang tak begitu jelas dan mengambang. Sebuah rajutan kasih yang mungkin pantas disebut sebagai cinta yang naif dan tak berbalas. Colombus yang ketika berlayar di lautan, tanpa kesengajaan dan perencanaan menemukan sebuah pulau baru yang tak berpenghuni, Amerika. Sebuah penemuan tempat kehidupan yang baru, akumulasi dari ketidaksengajaannya akan rasa putus asa bercampur optimisme akan harapan dari mimpi yang belum jelas realisasinya itu. Pulau yang merupakan cikal bakal bertenggernya sebuah negara Adi Daya dengan segala bentuk hiruk-pikuk kemajemukan dalam sistem kehidupannya yang telah menjadi kiblat bagi negara-negara kecil dan berkembang lainnya. Sebuah konsekuensi dari hukum rimba yang dikemas sedikit santun dan lebih modern.

Tentu Amerika bukanlah jadi tempat penjelajahanan terakhir dari segala pengembaraan Colombus. Bukan juga menjadi tempat dimana peti dan kunci itu akan dipertemukan. Amerika hanyalah sebuah tempat yang menjadi rangkaian dari pengembaraan kedewasaan diri yang tak kunjung dimengerti, walaupun telah banyak yang telah tergores dengan berbagai sentuhan kreatif dengan sedikit inovasi, tapi kepuasan hati bukan ketika melihatnya menjadi populer dengan segala riak kemegahannya, melainkan segala bentuk kedamaian jiwa akan bersemi ketika berada pada tempat yang sesungguhnya, bersamanya di daratan sebelumnya, menyaksikan pertemuan monumental lagi fenomenal, peti dan kunci itu.

Apakah Amerika harus bersyukur dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Colombus yang telah menemukannya? Ataukah penemuan tak terencana Colombus itu bukanlah suatu hal yang perlu disesali karena sebenarnya bukan itu yang menjadi tujuan terakhir pencariannya? Manakah yang seharusnya mensyukuri atas apa yang telah tejadi tanpa memperdulikan segala dampak kemegahan yang telah ada?

Terlalu banyak tanya yang menggiring kesungguhan hati untuk mencoba menguak misteri dari abstraknya kisah ini. Biarlah ia mengalir seperti air, mengikuti lengkungan-lengkungan tepian sungai yang tak beraturan. Toh akhirnya semua akan bermuara ke lautan luas. Seperti sajaknya dulu kepadaku “entah apa kehendak rasa, rinainya jatuh di tempat yang ia suka”.

Ada apa ketika peti dan kunci itu bertemu? Misteri apa yang telah tersembunyi sejak sekian lama di dalamnya, sampai ketika peti telah ditemukan? Inilah yang menjadi bahan renungan selanjutnya karena kisah ini masih dalam proses ke arah realisasi mimpi-mimpi besarku. Apapun isi dari peti itu tidaklah jadi soal. Proses pencarian peti di lautan itulah yang menjadi kemenarikannya, sekaligus kadang menjadi ketragisannya pula. Proses menuju pertemuan keduanyalah yang mesti dinikmati dan disyukuri. Kelak, bersamanya menyaksikan pertemuan antara “Peti dan Kunci”. (*) 

(Sepenggal kisah yang lalu)