(Sumber Google)
TAK ada yang dapat kusangka sebelumnya. Pun
tak ada yang mampu kusangkal akhirnya. Bak seorang filsuf, pernah aku sesumbar
mendeklarasikan pernyataan di atas. Pangkal dari beberapa kontemplasi
sederhana, memaknai tentang kehidupan secara sederhana pula. Bahwa hidup tak
selamanya selalu begini dan tak selamanya selalu begitu. Ada fase di mana kita
akan terhenti di sebuah titik, tersungkur layu, tak mampu berbuat apa-apa. Pada
momentum itu, tersuguhkanlah beberapa pilihan. Bangkit untuk maju atau bangkit untuk
mundur. Pun memilih untuk tidak memilih satu diantaranya juga merupakan sebuah
pilihan. Memilih untuk selamanya stagnan, meratapi kemegahan ‘dinding’ tersebut.
Sontak aku terperangah memandangi ‘dinding’
besar itu. Banyak hal yang membuatku miris. Mengukur-ngukur dosa di masa lalu,
menimbang-nimbang maksiat yang terlampau bejat, menakar-nakar air mata dari mereka
yang telah dipaksanya menetes karena lakuku, juga dekadensi akhlak membuatku semakin
ciut, gamang bukan kepalang. Sadar bahwa tuah dari kata-kata yang pernah
kucelotehkan benar-benar tertuai sendiri padaku.
Lelah merasai itu, pilihan-pilihan pun telah
tersajikan. Memilih dan tak memilih adalah sebuah pilihan. Mudah dulu aku
mendemonstrasikannya, sulit kini merealisasikannya. Ketika memilih untuk
memilih, aku masih diperhadapkan pada dua pilihan, bangkit untuk maju atau
bangkit untuk mundur. Pun ketika memilih untuk tidak memilih satu diantaranya
adalah pilihan juga. Aku tak menyangka sampai terlampau rumit seperti ini.
Aku mampunya termangu di beberapa malam
sesudahnya. Bertafakur, hanya bisa melakukan itu saja. Meluapkan segala penat keresahan,
mendengungkan pinta yang menguap-nguap, berharap dapat berekonsiliasi dengan
para malaikat tentang predestinasi Sang Pemilik Segalanya yang menurutku mungkin
telah terjadi kekeliruan dalam penetapannya. Menginginkan sebuah resolusi.
Aku ingin hidayah, pintaku secara sederhana.
Berkali-kali telah kurenegosiasikan kepada-Nya.
Pun sampai berkali-kali pagi mendapatiku masih dalam keadaan termangu di
sisa-sisa tafakur. Aku bosan menyaksikan seruakan cahayanya yang menyusup di
sela-sela tirai jendela kamarku. Tersadar bahwa belum terjadi apa-apa, belum
ada hasil apa-apa. Kalau pagi saja tak pernah merasa lelah menyapaku, mengapa
aku harus lelah? Pinta yang berjerih payah akan menuai hasil yang melimpah
ruah, pikirku secara sederhana pula. Setelah itu kumantapkan, bukan pagi yang
harus mendatangiku, aku yang harus menunggu pagi.
Sampai pada akhirnya terberai juga kekalutan transendental
tentang pilihan itu. Aku akan memilih sekaligus tidak untuk memilih.
Waktu telah berjalan menjejaki angka-angka
penutupannya pada penanggalan matahari, duapuluh delapan Maret, sebulan setelah
moment kelahiranku. Tetap, aku yang masih menunggu pagi. Kuharap akan tetap
seperti itu, meskipun telah ada hasil yang melimpah ruah. Balik lakuku sebagai
bentuk syukur kepada-Nya. Kunamai ini sebagai titik balik.
Aku tahu, Tuhan tidak diam. Diam-diam Dia
telah merangkul doa-doa dan sebagian mimpi-mimpiku.
Pun aku merasa bahwa porsi hidayah-Nya padaku telah dititiskan kepadanya. “Dari-Nya”
oleh “padanya” kepadaku. Dari-Nya kumunajatkan syukur tiada tara atas hidayah
luar biasa ini. Kepadanya kuucap terima kasih atas ide yang berderai-derai
tiada henti. Atas segalanya itu, kunamailah wadah ini sebagai halaman-halaman untuk Idea.
(Saat menunggu pagi, Makassar,
28 Maret 2012)